Rabu, 30 April 2008

Penting dan Tidak Penting ala Onno dan Drucker

Bukan satu kebetulan ”mungkin” beberapa hari sebelum mengikuti Workshop Aplikasi Wajan Bolic Untuk Optimalisasi Penangkapan Signal Internet & HP 4G Tanpa Simcard yang menampilkan salah satu pejuang teknologi informasi kondang negeri ini, DR Onno W Purbo di Banjarmasin, saya membeli buku Classic Drucker.
Didalam buku ini hampir seluruhnya mengisahkan pemikiran-pemikiran brillian dari Bapak Manajemen Dunia Peter F Drucker yang pernah dipublikasikan di media bisnis internasional ternama Harvard Business Review. Tapi tulisan ini bukan ingin bercerita tentang keseluruhan buku Drucker, karena saya belum khatam membacanya. :)

Lalu, apa hubungannya bapak manajemen dunia dengan Bapak Onno yang jelas-jelas beda piring nasinya?? Dan dimana pula muncul kata bukan satu kebetulan itu??

Ok, saya akan coba jelaskan satu-satu.

Pertama. Pada Pendahuluan buku Classic Drucker alinea ketiga, tertulis kutipan lama Drucker – tahun 1963 — yang berbunyi, ”Tidak ada yang lebih sia-sia selain melakukan pekerjaan dengan efisien padahal pekerjaan itu sebetulnya tidak perlu dilakukan sama sekali”. Kutipan usang ini, karena sudah ditulis Drucker 44 tahun yang lalu, mengajak kita untuk berhenti sejenak ditengah rutinitas. Kemudian meninjau ulang jejak yang telah kita toreh baik dalam pekerjaan maupun dalam hidup.
Apakah benar kita telah melakukan hal yang betul-betul penting? Jangan-jangan saking seriusnya kita dengan sesuatu, bahkan mengerjakannya dengan kualitas efisien dan efektif yang tak diragukan, hanya untuk pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu penting!
So, hubungan dengan workshopnya Pak Onno adalah bahwa saya kemudian tersadar, paling tidak dalam asumsi pikir pribadi, Pak Onno dengan konsep perjuangannya mencerdaskan Indonesia melalui pembebasan penguasaan teknologi informasi, berusaha melepaskan hal-hal yang ”tidak penting” dalam pengelolaan kebijakan teknologi informasi di negeri ini. Termasuk juga melepaskan pola pikir generic bahwa teknologi informasi itu mahal dan mewah.

Buktinya! Sebuah teknologi tingkat tinggi di sosialisasikan hanya dengan dengan menggunakan sebuah wajan atau rinjing. Singkatnya seorang Doktor keliling-Indonesia bahkan negara tetangga hanya untuk jualan rinjing?! Gak penting banget gitu lo!

Bagi segelintir orang mungkin seperti itu. Tapi dibalik itu semua Pak Onno dan kawan-kawan berupaya melepaskan kulit dari kacangnya dan mengajak kita bersama berkonsentrasi untuk menikmati kacangnya (Ini kok malah cerita kacang J). Teknologi Informasi bukanlah satu hal yang mewah. Tidak harus menggunakan parabola yang mentereng, cukup sedikit kreatifitas di ulek sedikit dengan rumus matematis plus beberapa alat penunjang yang relatif murah dan mudah didapatkan, kemudian siap dimasukkan ke Penggorengan yaitu rinjing buatan orang Nagara –HSS— seharga 35 ribu. (Nah ini soal masak-memasak lagi L)

Dengan alat yang disebut Wajanbolic, kalo bahasa Banjar-nya Rinjingbolic diambil dari persamaan kata Parabolic (parabola), kita sudah bisa menangkap signal wireless dan kemudian terhubung dengan jaringan baik itu intranet maupun internet. Konsekwensi dari itu, secara sederhana, kita sudah bisa menghubungkan komputer kita dengan komputer yang jaraknya berjauhan, bisa lebih 3 Km atau bahkan ribuan kilometer, antar kota, antar provinsi bahkan antar negara tanpa harus membentangkan kabel yang puanjang sekali. Bayangkan! Hanya dengan perantara sebuah Rinjing kita bisa berkomunikasi secara global. Kedigdayaan Onno cs tidak sampai disitu, mereka bahkan bisa menggunakan barang-barang tidak penting menjadi perantara yang amat penting, seperti kaleng, rangka jendela, tutup panci, kotak minuman dan lain sebagainya. Pinter bukan?!

Setelah bisa terkoneksi dengan dunia global via internet, kita juga diajak membuat Telkom Pribadi, ingat Telkom bukan telepon! Dengan membuat telkom pribadi maka kita dalam komunitas kecil satu kantor, satu RT, satu RW dapat bertelepon ria sebebas-bebasnya tanpa takut dapat tagihan pulsa yang besar. Bahkan menggunakan pesawat telepon biasa kita bisa berkomunikasi dengan rekan diseluruh dunia hanya dengan pulsa lokal yang super murah dan flat lagi. (Tentang ini insya Allah akan saya muat dalam tulisan tersendiri).

Kita bisa mengkalkulasi sendiri berapa besar modal pemerintah membangun perusahaan sebesar Telkom?. Sementara dengan teknologi yang sederhana dan aplikasi gratisan, karena berbasis open source, ternyata kita bisa bikin Telkom sendiri. Hebat bukan.

Disini jelas relevansi pemikiran Peter F Drucker, tentang mana hal yang penting dan mana yang tidak penting, dengan apa yang selama ini diboyong oleh Bapak Onno W Purbo. Bagi Onno yang terpenting adalah seluruh rakyat Indonesia bisa mengakses informasi seluas-luasnya dengan biaya murah, soal bagaimana caranya mari kita gunakan segala potensi yang ada.

Bagi saya yang bekerja dalam lingkungan birokrasi agak susah menyelami pola pikir seperti ini. Karena terkadang ditengah rutinitas dan “kungkungan” kebijakan yang telah ditetapkan, pola pikir cenderung menjadi mapan. Untuk itu perlu pencerahan secara kontinu yang dapat selalu membuat tersadar bahwa yang abadi adalah perubahan bukan kemapanan.

Tentang pencerahan itu, ide perubahan yang dibawa oleh Onno dalam kerangka pembangunan kesejahteraan rakyat adalah bahwa apabila rakyat bisa secara mandiri mengembangkan kemampuan dan kecerdasannya, khususnya via teknologi informasi, maka pemerintah tentu akan terkurangi bebannya di sektor pendidikan. Karena rakyat mampu meningkatkan kualitas pendidikannya secara mandiri. Dan tentunya alokasi 20% dari anggaran itu bisa diarahkan ke sektor lain.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa penting dan tak penting hanya bisa dilihat apabila kita mampu melaksanakan saran Drucker, untuk berhenti sejenak dan melihat sudah sejauh mana langkah kita berayun. Penting dan tak penting bergerak sesuai dengan perubahan jaman, selama kita bisa terus mengendarai perubahan maka kita akan selalu menjadi pemenang. Merdeka! J

Itu baru menjawab pertanyaan pertama di alenia kedua tulisan ini, tentang koneksitas antara Drucker dan Onno. Lalu bagaimana dengan pertanyaan kedua, tentang dimana asal muncul kata bukan satu kebetulan? Maka saya hanya bisa mengutip sebuah iklan permen pelega tenggorokan yang memvisualisasikan seorang guru bertanya pada muridnya, ”Kenapa Patimura bisa tertangkap oleh Belanda?” Dan sang murid menjawab, “Takdir Pak”. Maka itu pula jawabannya, takdir lah yang berusaha menunjukkan bahwa satu kejadian bukanlah satu kebetulan belaka, karena sudah ada yang mengatur. Wassalam.

Samsul Ramli

Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjar

Tidak ada komentar: